reckless | 1
hari hari yang penuh lelah karena tuntutan pekerjaan akhirnya berhasil aku lalui lagi. pagi ini aku sudah siap dengan tas berisi minum, kamera analogku dan beberapa roll film. sudah menjadi rutinitasku di hari sabtu untuk mengunjungi beberapa tempat yang dulu sering kami datangi. dengan detik yang terus bergulir, hari yang selalu berganti, beberapa tempat sudah terlihat perbedaannya.
cukup masuk akal karena aku sudah menjalani kesendirian ini lebih dari setahun lamanya. sedih ada, sedikit banyak. hari hariku pun terasa sepi tanpa rengekan rindu dari lelaki yang lebih muda tiga tahun dariku yang selalu menelponku waktu jam makan siang saat kami masih berpacaran.
orang bilang berkunjung ke tempat yang memiliki kenangan masa lalu hanya akan membangkitkan luka lama. memang sakit, dan aku pantas mendapatkannya.
aku pantas merasakan sakit. karena sebut saja aku si bodoh yang terlalu percaya diri. aku yang membiarkannya berjuang sendirian di hubungan ini. dan aku yang terlalu percaya diri tentang dia yang tak bisa meninggalkanku.
kenyataannya sekarang dia sudah pergi karena terlalu lelah berjalan di jembatan tak berujung yang hampir putus. meninggalkanku dengan perasaan bersalah.
saat itu rasa kecewanya sudah terlalu jauh, tak kuasa tanganku untuk meraihnya lagi, mendekapnya dan merapalkan kalimat permohonan padanya untuk tetap tinggal. dan akhirnya aku mengizinkannya untuk pergi.
rasa sesal selalu membawa otakku untuk memutar kembali saat terakhir sebelum chandra pergi. saat langkahnya terus maju meninggalkanku, tak menoleh barang sekali.
“kak, kenapa sih kita lagi liburan tapi kamu tetep kerja?” tanya chandra yang sudah mulai kesal melihatku berkutat dengan laptop alih alih menghabiskan waktu berduaan kami.
“kalo gak gini, aku ketinggalan dari yang lain, chan.” jawabku tanpa menoleh pada si pemilik tanya.
“ketinggalan gimana sih, kak? kamu selalu jadi karyawan teladan, kan. kamu selalu jadi kesukaan atasanmu karena paling bisa diandalkan, you said this before.”
tarian jemariku diatas keyboard seketika berhenti. menatap kosong pada layar di depanku sambil terus mendengarkan chandra berbicara.
“overworked nggak baik, dan kamu tau itu, alya.”
aku hanya bisa meneguk ludah saat chandra memanggil namaku tanpa embel-embel 'kak' di depannya. sebab dia hanya memanggilku seperti itu saat dua situasi. pertama, adalah saat sedang memandu kasih di ranjang. kedua, saat ia marah besar.
“chan, kamu gampang ngomong gitu karena kamu belum kerja. sulit buat aku buat mempertahankan semua yang udah aku bangun dari awal karirku. kamu belum ngerti ... persaingan ketat. *they'll leave me behind. but i believe you don't.”
“you said, i won't leave you....“chandra menghela nafasnya.
“al, umurku bisa jadi lebih muda. tapi sekarang aku bukan lagi anak sma yang kekurangan ongkos busnya waktu pertemuan pertama kita.”
“–aku mau jadi tempatmu bersandar. aku mau kamu berbagi cerita bukan waktu kamu bahagia aja.”
“chan ... maaf.”
ia bangkit dari duduknya lalu berkata, “kalo kakak bisa tetep berdiri dengan nanggung semua beban, kehadiranku disini ngga ada gunanya, ya.”
“jangan ngomong gitu, chan, please....”
“jaga kesehatan, ya, kak.” ucapnya dengan senyum, lalu melangkah menjauh tak pernah kembali.
kepalanku mengadah ke atas, menatap langit yang semakin gelap. bukan karena bulan akan segera datang, tapi karena awan yang berkumpul akan segera menurunkan hujannya kurasa.
terakhir kali aku menginjak puncak menara ini adalah 3 bulan lalu. berada di ketinggian adalah salah satu ketakutanku. namun setelah chandra pergi, aku baru sadar bahwa ketidakhadirannya lebih menakutkan dari apapun.
air langit mulai turun tapi aku tak ada niat untuk berteduh. aku memutuskan untuk memejamkan mataku seraya menyatukan kedua tangan di depan dada.
tuhan, aku memang bukan hambamu yang paling patuh. tapi apakah bisa kau membawanya kembali? aku berjanji akan membuat semuanya lebih baik.
tuhan tolong, aku mau chandra kembali.
hangat.
air hujan tak lagi turun membasahi tubuhku. suara pertemuan air dengan payung terdengar jelas di telingaku. aku belum membuka mataku tapi bisa kupastikan tubuh si pemegang payung lebih tinggi dariku.
“kak....”
panggilan yang paling aku rindukan masuk dengan sopan ke dalam indra pendengaranku. buru buru kubuka mataku, dengan harap suara tadi bukan hanya halusinasiku semata.
nafasku tercekat. yang pertama kulihat adalah lelaki dengan payung di tangannya. tubuhnya lebih besar dari terakhir kali pertemuan kami. rahangnya yang sekarang lebih tegas membuatnya nampak dewasa.
“chandra....”
TBC.