obsesi
calya's sides story.
aku pikir sore ini akan menjadi waktu yang tepat untuk mengistirahatkan diriku yang seminggu kebelakang digempur habis habisan oleh segudang tugas dari dosen pelit nilai yang terlampau menyebalkan itu.
aku baru saja merebahkan diriku dikasur, tetapi memang semesta tak mengizinkanku beristirahat barang satu jam saja. pintu apartemenku diketuk kasar, dengan orang dibaliknya berteriak nyaring.
aku hapal betul siapa suara dibalik pintu itu, suara yang membuatku setengah mati menahan takut, karena sepertinya fadil tidak akan bersikap lembut. ya, setidaknya sampai ia berhasil meluapkan seluruh amarahnya.
ku buka perlahan kayu yang menjadi penutup ruangan 5x8 itu. terlihat sosok fadil dengan amarah yang membuncah, sorot matanya tajam, tatapnya seakan menusuk jantungku.
nafasku tercekat saat kedua tanganya mencengkram kuat tubuhku. ya, sudah dipastikan sore ini takkan pernah menjadi waktu yang tenang.
“apa sih susahnya ketemu mama aku?!” bentaknya seraya mendorong tubuhku.
“maaf dil...hiks, aku lagi banyak tugas...”
“BOHONG!!!” entah sudah berapa piring yang fadil pecahkan kali ini.
“hiks......ngga dil, aku ngga boh- aaaak.” sekarang rambutku jadi sasarannya. air mata tak bisa kutahan lagi, ini terlalu sakit, tolong...
“NANGIS AJA BISANYA!”
cengkraman tangannya di daguku terlepas saat ada yang menggedor pintuku keras, “NAYA! BUKA NAY, LO GAPAPA KAN?!”
calvin, iya itu suaranya.
“anjing, dia lagi.” fadil lekas membuka pintu, tanganku sudah tak kuat untuk menahannya. karena jika aku tak menahannya, adegan selanjutnya adalah perkelahian antara calvin dan fadil.
clek!
“GAK GITU CARA PERLAKUIN CEWE, ANJING LO!”
“GAK USAH IKUT CAMPUR BANGSAT!”
tangan calvin sudah melayangkan pukulan pada wajah fadil. mereka saling beradu.
takut, iya itu aku sekarang. tapi aku sudah tak tahan lagi saat melihat hidung calvin sudah mengeluarkan darah.
aku bangkit dengan niat untuk melerai mereka, kemudian berusaha menahan kedua lelaki ini. tapi sepertinya dewi keberuntungan tak berpihak padaku hari ini, tonjokan fadil yang sebelumnya diarahkan untuk calvin meleset mengenai wajahku. keras, tubuhku pun jatuh tersungkur.
“NAYA!”
“KELUAR LO BAJINGAN!” teriakan calvin barusan ditutup lagi dengan bogeman pada wajah sebelah kanan fadil.
aku tau betul fadil masih pada puncak amarahnya, tapi dia buru buru keluar dari unit apartemenku. akhirnya aku bisa bernafas lega, setidaknya sampai esok hari.
“sumpah nay, lo ngarepin apa sih dari dia? orang kasar kayak gitu.” tanya calvin saat tanganku masih mengobati lukanya akibat tonjokan keras dari fadil.
“cal, dia tuh ngga kasar kok. cuma emang gue salah jadi ya gitu.” jawabanku membuat dahi calvin merenyit, “gak kasar gimana sih? jelas jelas dia udah mukul, nampar, jambak lo gitu nay! gak kasar kata lo?!”
“udah deh cal, gue gapapa kok. dia begitu karena sayang sama gue, fadil sama gue udah mau 3 tahun bareng cal, jadi gue ngerti banget dia orangnya gimana.” jawabku lagi. ya, sekalian meyakinkan calvin kalau memang fadil bukan seperti bayangannya. walaupun sebenarnya aku cukup capek dengan kelakuan fadil yang seperti barusan.
“dia obsesi naya, sama lo. bukan sayang. bahkan anak tk juga tau nay, kalo sayang tuh ga akan kasar apalagi kalo udah main tangan sampe pecahin barang, itu udah gak sehat banget hubungan lo. putus nay, masih banyak kali cowo yang labih baik yang mau sama lo” sudut bibirku terangkat mendengar kalimat terakhir yang keluar dari mulut calvin.
sebagai ucapan calvin memang benar, aku pun sadar bahwa hubungan kami sudah tak sehat. dengan fadil yang ringan tangan dan aku yang cukup lemah untuk menerima semua perlakuannya, bersandar dibalik kata sayang.
“apa sih, sayang kan gue sama fadil udah 3 tahun loh, kita ngga se-bercanda itu cal. dan menurut gue dia bisa bahagiain gue, cal.”
calvin lagi lagi merenyit mendengar pernyataanku, yang mungkin menurutnya, kata kataku barusan patut dipertanyakan.
“sebenernya lo sayang sama fadil atau sama waktu 3 tahun bareng dia sih? lagian, bahagia lo ya tanggung jawab lo sendiri nay. yakin aja, diluar sana banyak yang lebih baik nay. percaya sama gue.”
“siapa sih yang lebih baik haha.” ujarku sambil tersenyum kecut. andai saja seseorang yang lebih baik itu memang ada, aku yakin aku siap untuk mengakhiri hubungan kami yang sudah lewat dari kata sehat.
“lo pikir, gue rela ditonjok sama si brengsek karena apa sih nay?”
fin