Nino & Niyo.

dua pasang kaki terlihat masih terus berlarian mengitari taman sekolah. kedua anak itu —nino dan niyo— sedang menunggu jemputan pengasuh mereka yang tak kunjung datang. niyo mulai kelelahan. ia memanggil kawan seumurannya untuk berhenti berlari dan duduk beristirahat di bawah pohon.

jika diperhatikan, dari atas sampai bawah kedua bocah itu memakai barang yang sama persis. kecuali sepatu nino. anak itu memilih sepatu tanpa tali karena dirinya payah dalam mengikatnya.

kebanyakan orang akan mengira mereka bersaudara. bahkan tak jarang beberapa orang yang beru bertemu dengan mereka akan mengira bahwa dua anak itu kembar.

tapi itu semua salah. mereka memang tinggal satu atap. namun terlahir dari rahim yang berbeda. mereka tinggal bersama di panti asuhan mentari sejak lahir. ibu dari nino tak selamat saat melahirkannya. ia pun terlahir tanpa ayah, akhirnya salah satu kerabatnya menitipkan nino di panti asuhan.

sedangkan niyo, ia ditinggalkan entah oleh siapa di depan pintu masuk panti. bayi malang itu datang tanpa nama. hanya secarik kertas bertuliskan tanggal lahir niyo.

hampir semua momen pertama mereka alami bersama. pertama kali bisa berjalan, bersepedah, bahkan hari pertama sekolah mereka memaluinya bersama.

hidup tanpa orang tua kandung tak membuat dua bocah itu sering kehilangan senyum. beruntungnya mereka saling memiliki. jika niyo terlihat murung, nino langsung melemparkan beberapa guyonan agar adiknya bisa riang kembali.

begitupun jika nino tidak terlalu banyak bicara. niyo akan segera memberi pelukan hangatnya. pernah suatu malam nino tak ada di kasurnya saat niyo terbangun karena kehausan. menyadari itu ia lekas mencari nino.

setelah menemukan sosok yang ia cari anak itu mendekat dan mendekapnya. nino menangis, entah apa alasannya. mereka bertahan dalam kesunyian dengan posisi niyo memeluk nino.

setelah isakan yang didekapnya mereda, niyo melonggarkan pelukannya. menatap khawatir pada nino. “kalau nino sedih, niyo juga ikut sedih.”

nino menggeleng. “kamu jangan sedih, biar aku aja,” ujarnya.

“jangan gitu, nino kenapa?”

air mata kembali memenuhi pelupuk nino. “aku ... nggak mau sendiri.”

“aku mau punya orang tua.”

“aku mau tau gimana rasanya dipeluk ibu.”

niyo terdiam. ia pun mau semua yang nino sebutkan. tapi jika ini jalan yang tuhan beri untuknya, ia tak bisa menolak.

“nino ngga sendiri.” akhirnya ia buka suara.

“ada niyo.”

digenggamnya tangan temannya itu, “nino harus percaya. niyo lahir sehari setelah nino lahir itu biar nino ngga pernah ngerasa kesepian.”

keduanya kembali berpelukan hingga tertidur di ruang tv panti asuhan mereka sepanjang malam.


selisih umur yang hanya 1 hari itu tidak membuat mereka selalu akur. sedikit banyak pertengkaran yang telah mereka lewati. dari hal yang sepele sampai masalah besar yang buat mereka tak berbincang selama 3 hari.

waktu itu belum lama dari ulang tahun ke-11 mereka. ada sepasang suami istri yang ingin mengadopsi nino. namun dengan gampangnya anak itu menolak.

niyo heran sekaligus kecewa. kenapa temannya itu menyia nyiakan kesempatan bagus. padahal sebelumnya nino bilang birthday wishesnya tahun ini adalah segera mendapatkan orangtua adopsi.

kebingungan dengan niyo yang tiba tiba menjauh dan enggan berbicara padanya membuat nino tak tahu harus berbuat apa.

satu satunya cara membujuk kawannya itu adalah dengan eskrim. nino merasa bodoh, kenapa ia tak mengingat hal ini dari kemarin.

siang itu ia bergegas ke warung di depan panti setelah mengambil beberapa uang tabungan dari lemarinya. membeli dua buah eskrim untuknya dan untuk niyo.

“niyo!” panggilnya sembari menyodorkan eskrim rasa nanas yang baru ia beli.

“aku minta maaf. aku ngga tau kenapa kamu jauhin aku. kamu gamau ya temenan sama aku lagi?”

helaan nafas terdengar dari lawan bicara nino. ia bersyukur karena niyo tak menolak pemberiannya.

“niyo marah, kenapa nino tolak om sama tante yang mau adopsi nino?”

“bukannya itu yang nino pengenin dari dulu?”

anak itu terdiam sejenak kemudian menjawab, “karena om sama tante ngga mau adopsi kamu juga.”

“niyo gapapa ... masih banyak temen disini.”

“bukannya kemarin waktu kita tiup lilin permintaan kamu itu buat bareng terus sama aku sampai umur kita 80 tahun?”

pertanyaan barusan membuat niyo mengangguk. yang duduk di sebelahnya tersenyum.

“nanti kalau aku pergi siapa yang berangkat sekolah bareng kamu?”

“kalau kamu digangguin, siapa yang bakal belain?”

bocah itu tertegun mendengar kalimat kalimat yang keluar dari ranum nino.

“kamu harus percaya. aku lahir sehari sebelum kamu itu buat jagain kamu.”

keduanya tersenyum lalu kembali menghabiskan eskrim yang sempat luput dari perhatian keduanya.

itulah nino dan niyo, keduanya bagaikan dua sisi mata uang. walaupun berbeda tapi satu dan tak dapat dipisahkan.


lyantares, 2021