Different Way.

Sepasang kaki kecil keluar dari laboratorium kampus, berjalan menyusuri lorong bersama beberapa teman sekelompoknya. Gadis itu merenyit kala melihat jam yang sudah menujukkan pukul tujuh lebih. Langit sudah kehilangan birunya, digantikan gelap yang dihiasi cahaya rembulan juga beberapa bintang yang terlihat malam ini.

Ia teringat sudah membuat janji dengan Biru untuk bertemu di warkop belakang kampus. Tanpa pikir panjang Aluna berlari ke arah pintu belakang sembari merapalkan beberapa doa agar ia tak kena semprot dari temannya itu.

Nafas gadis itu masih terengah ketika netranya menangkap sosok Biru yang sedang duduk seraya menyesap kopi di tangannya. Ia buru buru menghampiri Biru sebelum lelaki itu kembali memesan kopi gelas ketiga. Aluna tau, karena di depan Biru ada dua gelas, yang satu kosong sedangkan satunya tersisa sedikit cairan hitam pekat kesukaan sahabatnya itu.

Kini gadis itu sudah duduk di kursi sebelah Biru, sembari menormalkan kembali nafasnya. Lelaki yang menyadari eksistensi gadis itu langsung menyodorkan botol air mineral yang sisa setengah yang sebelumnya sudah dibuka penutupnya, seakan mengerti bahwa kawannya butuh air untuk menuntaskan rasa dahaganya.

Ia melirik jam ditangannya, kemudian melambaikan tangan untuk memanggil karyawan warkop yang sudah menjadi langganannya selama dua tahun terakhir. Tak lama, pria dengan perawakan lebih tinggi dari Biru dengan rambut yang dikuncir menghampirinya.

“Gimana mas Biru?” Tanya lelaki yang kerap disapa Kiki.

“Ki, beliin sate lontong yang di depan dua porsi. Tambah nasi pecel lele satu, sambelnya jangan terlalu pedes.” Titah Biru sembari memberikan dua lembar uang lima puluh ribuan.

“Enggak ada tambahan?” Biru melirik perempuan di sebelahnya sekilas, kemudian menggeleng.

Kiki melangkah keluar untuk membeli pesanan Biru. Meninggalkan mereka berdua dan beberapa pengunjung warkop malam ini.

“Maaf ya telat. Gue baru kelar di lab.” tubuhnya ia arahkan pada lelaki dengan hoodie hitam di sebelahnya. kini mereka berhadapan.

Kiki datang sebelum Biru sempat membalas kalimat gadis itu. Menaruh makanan untuk keduanya di meja.

“Buset, banyak amat.”

Biru memutar bola matanya. “Lo pasti belum makan dari siang.”

Gadis itu hanya cengengesan. “Hehe, tau aja.”

“Buruan dimakan, abis ini gue mau ajak lo pergi.”

“Kemana?”

“Liat aja nanti.”

Aluna berdecih, “Sok misterius banget.” Biru hanya menggeleng mendengar tutur gadis itu. udah biasa, batinnya.

Selesai dengan urusan perut, mereka bergegas menuju tempat dimana mobil Biru terparkir. Jaraknya agak jauh dari warkop tempat mereka makan karena parkirannya tak cukup luas untuk menampung mobil lelaki itu.

“Tumben bawa mobil, mau kemana sih? Biasanya juga naik motor.”

Lelaki itu memilih diam seraya membukakan pintu untuk Aluna lalu mempersilahkan gadis itu masuk.

“Kita mau ke puncak. Dingin, jadi gue bawa mobil.”

Gadis itu membelalak. “Kok gak bilang dulu?!”

“Kalo bilang lo gak mau ikut pasti. Udah sekarang duduk manis, pake safety belt, play spotify. Kalo mau cemilan ada di jok tengah.”