butterfly.

Kata gelisah, sepertinya belum cukup untuk menjelaskan apa yang sedang kurasakan saat ini. Pikiranku diselimuti takut. Hatiku belum pernah merasa seragu ini. Satu fase yang paling kubenci saat menjalani sebuah hubungan, nyatanya malah datang terlalu cepat, membuatku semakin membenci diri sendiri karena tak bisa mencegahnya datang, pun melakukan sesuatu untuk menghilangkannya.

Aku tak suka kehilangan. Apalagi kalau yang hilang adalah perasaan hangat yang biasanya selalu kurasakan, setiap aku terbangun di pagi hari dan mendapati Chris tengah menatapku dengan mata teduh, juga senyum indah yang terpatri di wajah tampannya.

Setelah puas saling menatap, Chris akan gunakan tangan besarnya untuk tangkup wajahku, lalu menggesekan ujung hidung kami berdua. Biasanya, aku akan balas tersenyum. Kadang terkikik merasakan banyak kupu-kupu berterbangan di dalam perutku.

Namun, beberapa hari ini, aku mulai sadar jika kupu-kupu itu tak pernah datang lagi. Perasaan aneh namun menyenangkan itu seolah hilang, lenyap begitu saja meski hangat dekap lengan Chris masih terasa di tubuhku.

Saat-saat yang dulu selalu aku nantikan, kini berubah menjadi waktu paling menakutkan untukku. Aku takut, bagaimana bila, di suatu pagi, Chris menyadari yang aku rasakan. Chris menyadari, jika aku sudah kehilangan kupu-kupu dalam perutku.

Aku sungguh takut. Karena salah satu yang paling kuhindari akan terjadi dalam hidup ini adalah membuat Chris kecewa.

Niat, untuk mengatakan hal yang sebenarnya selalu datang sambangi pikiranku. Tapi, kata-kata itu selalu berhenti di ujung lidah. Tak pernah berhasil keluar dari bibirku. Terjebak dalam ketakutanku sendiri, karena bayangan Chris yang kecewa selalu berhasil mumbuatku melangkah mundur dan mengulur-ulur waktu.

Namun, hari ini aku akhirnya membulatkan tekad untuk memberitahukan segalanya pada laki-laki terakhir yang kulihat sebelum jatuh tertidur. Christopher, suamiku. Hari ini, aku akan mengatakan kepadanya, bahwa hatiku mulai kehilangan kepercayaan bahwa ia adalah orang yang kucintai sebegitu rupa.

Jemariku yang biasanya piawai mengirimin pesan menggoda untuk Chris, hari ini gemetar hebat saat hendak mengirim pesan pada chris untuk menyuruhnya pulang lebih awal. Kurang dari 5 menit berselang, ponselku berbunyi. Menampilkan pesan balasan dari suamiku yang menerangkan jika ia saat ini dalam perjalanan pulang menuju rumah kami.

Chris sampai di rumah saat aku tengah menenggak air mineral untuk hilangkan dahaga dan juga gugup. Suara langkah kakinya terdengar semakin mendekati pintu kamar kami. Kenop pintu perlahan terbuka. Menampilkan salah satu ciptaan tuhan yang paling kusyukuri kehadirannya. Sorot matanya sesaat terlihat lelah namun berganti menjadi binar bahagia saat melihatku, meski yang kutunjukkan hanya seutas senyum tipis.

“Hai.” Belum sempat sapaannya kubalas, dia langsung berlari ke arahku lalu membawaku pada dekapannya.

Wangi parfum favorit yang ia pakai tadi pagi memenuhi indra penciuman. Aku mengusap punggungnya dengan tujuan melepas sedikit penat. Seharian di dalam studio, berkutat dengan melodi yang ia buat, pasti cukup membuatnya lelah.

Tubuhku tersentak pelan kala Chris membawaku untuk berbaring di kasur. Netranya menatapku dalam. Ia kemudian mendekatkan wajahnya dan mencium keningku cukup lama.

“Satu,” ucapnya setelah beri ciuman pada keningku.

“Dua ... tiga,” sambungnya lagi saat selesai mengecup kedua kelopak mataku. Ciuman ke empat dan lima untuk dua pipiku. Ke enam di hidung dan ke tujuh pada daguku.

Chris menarik sudut bibirnya naik saat pandangan kami bertemu. Matanya bergantian menatap mata dan bibirku. Jemarinya bergerak, menyingkirkan beberapa helai rambut yang menutupi wajahku.

“Cantik,” gumamnya memuji. Lalu, sepersekian detik setelahnya, bibir tebal laki-laki itu maju untuk pertemukan bibir kami berdua. Ciumannya terasa lembut namun tetap menuntut. Lidah yang awalnya hanya menjilat dan melumat bibir bawahku, kini perlahan menerobos masuk ke dalam mulut hingga lidah kami berperang, saling melilit satu sama lain.

Pagutan kami berlangsung cukup lama. Namun terlepas begitu saja saat kami sadar, pasokan oksigen dalam paru-paru kian menipis. Ibu jarinya mengusap, membersihkan entah saliva milik siapa yang tertinggal diatas bibirku. Chris kembali membawaku pada pelukannya, yang terasa nyaman, melebihi sofa termahal dengan kualitas terbaik di dunia.

“I love you,” ungkapnya tanpa ragu.

“I love you, my wife.“

“I love you, Al.”

Kuberikan sebuah anggukan pada ceruk lehernya, seraya membalas “Um hmm, too.“

Kami tak lagi membuat suara dan sama-sama menikmati pelukan. Besar tubuh chris rasanya pas sekali di tubuhku.

“Semoga cintaku sampe ke kamu,” ujarnya, membuatku terkekeh.

“Sampe, kok, sampe.” Dan jawabanku semakin buat chris mengeratkan pelukannya.

“Hmm … but, you know—“

Mendengarku bersuara, Chris sedikit melonggarkan lengannya, lalu menatapku serius.

“I feel like, I'm losing something,” lirihku.

“Losing what? your love for me?“

“Kayak ... kupu-kupunya hilang.”

Chris bangun, begitupun denganku. Kini, kami duduk berhadapan dengan posisiku yang menunduk, sebab tak kuasa balas menatap matanya.

“Nggak papa. Namanya manusia, pasti banyak fasenya. makasih, ya, udah mau jujur soal ini sama aku.”

Kedua tangannya meraih milikku untuk digenggam. “But, if the butterfly is really gone ...“

“Please, tell me.“

“Kita cari jalan keluarnya sama sama. Meskipun itu artinya aku harus lepas tangan mungil ini buat cari kupu-kupu lain di luar sana.”

“Apapun itu, bakal aku lakuin.”

“Tapi kamu harus janji. Kamu harus bahagia, dengan ataupun tanpa aku.”

“Ya, Alya?”

Aku mengangguk. Lalu menarik tanganku dari genggamannya untuk menghapus air mata yang turun membanjiri pipiku.

“Aku janji, Chris.”

“Tapi untuk sekarang ... tolong bantu aku buat tangkap kupu-kupunya lagi, ya? Please.”

Ia mendekat. Lalu mendekap tubuh dan juga mengusap punggungku.

“I will—”

“—dan makasih juga karena udah mau bertahan sampai saat ini, Al.”


lyantares, seobarbie.